Jakarta - "Merapi tak pernah ingkar janji," kata Bapak Surono, Ketua Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Badan Geologi ESDM sesaat setelah Gunung Merapi meletus tanggal 26 Oktober 2010 sekitar pukul 17.00 WIB. Istilah itu diambil mengikuti film tahun 80-an "merpati tak pernah ingkar janji".
Kata-kata itu tidak terlepas dari sejarah panjang proses letusan Gunung Merapi tercatat bahwa dalam periode siklus pendek yang terjadi setiap antara 2–5 tahun, sedangkan siklus menengah setiap 5 – 7 tahun. Siklus terpanjang pernah tercatat setelah mengalami istirahat selama lebih 30 tahun, terutama pada masa awal keberadaannya sebagai gunung api.
Memasuki abad 16 catatan kegiatan Merapi mulai kontinyu dan terlihat bahwa siklus terpanjang pernah dicapai selama 71 tahun ketika jeda antara tahun 1587 dan kegiatan
1658. Tahun dan aktivitas Gunung Merapi yang banyak memakan korban di antaranya
letusan tahun 1672 dengan korban meninggal 3.000 orang, letusan tahun 1872 meninggal 200 orang, letusan 1930 korban meninggal 1.369 orang, letusan 1994 meninggal 66 orang dan letusan 2006 korban meninggal 1 orang Letusan 2010 meletus Selasa 26 Oktober 2010 memakan korban meninggal 26 orang termasuk Mbah Maridjan.
Setiap gunung berapi di dunia mempunyai karakter masing-masing termasuk Gunung Merapi mempunyai tipe sendiri yaitu Tipe Merapi. Tipe ini dicirikan munculnya awan panas atau aliran piroklastik atau istilah lokal wedhus gembel. Terbentuknya awan panas tersebut dibedakan atas 2 macam, masing-masing awan panas letusan dan awan panas guguran. Kejadiannya adalah kubah lava yang tumbuh di puncak dalam suatu waktu karena posisinya tidak stabil atau terdesak oleh magma dari dalam dan runtuh yang diikuti oleh guguran lava pijar.
Dalam volume besar akan berubah menjadi awanpanas guguran (rock avalance), berupa campuran material berukuran debu hingga blok bersuhu tinggi (>700 derajat Celcius) dalam terjangan turbulensi meluncur dengan kecepatan tinggi (100 km/jam) ke dalam lembah. Puncak letusan umumnya berupa penghancuran kubah yang didahului dengan letusan eksplosif disertai awan panas guguran akibat hancurnya kubah. Secara bertahap dalam waktu tertntu sesuai siklusnya akan terbentuk kubah lava yang baru dan letak kubah lava berpindah-pindah.
Sejak tahun 1984 teknologi pengamatan gunung api berkembang pesat dan sinyal data
dapat dikirim melalui pemancar radio (radio telemetry) maka sejak saat itu gejala awal
letusan lebih akurat karena semua sensor dapat ditempatkan sedekat mungkin dengan
pusat kegiatan tergantung kekuatan pemancar yang dipergunakan, secara normal dapat
menjangkau hingga jarak antara 25–40 km. Hampir setiap letusan Gunung Merapi,
terutama sejak diamati dengan seksama yang dimulai tahun 80-an, selalu diawali dengan
gejala yang jelas.
Secara umum peningkatan kegiatan lazimnya diawali dengan terekamnya gempa bumi vulkanik-dalam (tipe A) disusul kemudian munculnya gempa vulkanik-dangkal (tipe B) sebagai realisasi migrasinya fluida ke arah permukaan. Ketika kubah mulai terbentuk, gempa fase banyak (MP) mulai terekam diikuti dengan makin besarnya jumlah gempa guguran akibat meningkatnya guguran lava. Dalam kondisi demikian, tubuh Merapi mulai terdesak dan mengembang yang dimonitor dengan pengamatan deformasi (PVMBG).
Kemajuan teknologi informasi dan media sejak tahun 2000 ikut meramaikan suasana hiruk pikuknya aktivitas letusan Gunung Merapi. kalau dulu sebelum tahun 2000 kita hampir tidak pernah disuguhi tentang letusan Gunung Merapi, kita hanya disuguhi "matengnya saja" (sudah diedit/disensor), keberadaan media saat ini betul-betul menginformasikan secara detail kondisi letusan, korban dan kepanikan serta memunculkan sosok Mbah Maridjan. Sebetulnya Mbah Marijan merupakan tokoh masyarakat biasa yang ditugasi Sultan Hamengku Buwono IX untuk menjaga Gunung Merapi dan karena ketekunannya, keteguhannya dalam menjalankan tugas beliau dipercaya masyarakat di sekitar Gunung Merapi.
Mbah Maridjan belajar secara autodidak terhadap Gunung Merapi dengan menggunakan seluruh panca indranya dan hatinya sehingga ada hubungan "chemistry" antara keduanya. Mbah Maridjan tahu perilaku Gunung Merapi apakah mau meletus apa tidak. Hubungan "chemistry" ini hanya sebatas umur Mbah Marijan saja tidak lebih dari 82 tahun, padahal G.Merapi sudah ada ribuan tahun lalu dengan kata lain ada beberapa perilaku Gunung Merapi yang tidak diketahui Mbah Maridjan.
Media mengekplorasi secara besar-besaran terhadap "kesaktian" Mbah Maridjan sehingga
saat terjadi letusan tahun 2006 dan penduduk sebagian besar sudah diungsikan, Mbah
Maridjan tidak mau mengungsi. Ternyata letusan tahun 2006 tidak mengenai Mbah Maridjan sehingga waktu itu muncul prediksi yang dilakukan PVMBG kurang tepat. Tahun 2010 terjadi lagi, namun kali ini Desa Kinah Rejo dilewati wedhus gembel dan menyebabkan korban meninggal lebih dari 10 orang termasuk Mbah Maridjan.
Mbah Maridjan telah memberi inspirasi beberapa ahli ITS untuk mempelajari "apa yang
dikeluarkan Gunung Merapi yang bisa ditangkap Mbah Maridjan dan sensor apa yang ada dalam tubuh Mbah Maridjan yang bisa menangkap gejala Gunung Merapi". Mungkin akan menemukan alat deteksi baru yang berguna bagi masyarakat.
No comments:
Post a Comment