I.
Pengertian
Konsumen Menurut UU PK
Menurut pengertian Pasal 1 angka 2 UU PK, “Konsumen adalah
setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik
bagi kepentingan diri sendiri, keluarga,, orang lain, maupun makhluk hidup lain
dan tidak untuk diperdagangkan.”
Anda tentu memahami bahwa tidak semua barang setelah melalui
proses produksi akan langsung sampai ke tangan pengguna. Terjadi beberapa kali
pengalihan agar suatu barang dapat tiba di tangan konsumen. Biasanya jalur yang
dilalui oleh suatu barang adalah:
“Produsen – Distributor – Agen – Pengecer – Pengguna”
Lebih lanjut, di ilmu ekonomi ada dua jenis konumen, yakni
konsumen antara dan konsumen akhir. Konsumen antara adalah distributor, agen
dan pengecer. Mereka membeli barang bukan untuk dipakai, melainkan untuk
diperdagangkan Sedangkan pengguna barang adalah konsumen akhir.
Yang dimaksud di dalam UU PK sebagai konsumen adalah
konsumen akhir. Karena konsumen akhir memperoleh barang dan/atau jasa bukan
untuk dijual kembali, melainkan untuk digunakan, baik bagi kepentingan dirinya
sendiri, keluarga, orang lain dan makhluk hidup lain.
Dan
Anda tentu mengetahui bahwa ada dua cara untuk memperoleh barang, yakni:
- Membeli. Bagi orang yang
memperoleh suatu barang dengan cara membeli, tentu ia terlibat dengan
suatu perjanjian dengan pelaku usaha, dan konsumen memperoleh perlindungan
hukum melalui perjanjian tersebut.
- Cara lain selain membeli, yakni
hadiah, hibah dan warisan. Untuk cara yang kedua ini, konsumen tidak
terlibat dalam suatu hubungan kontraktual dengan pelaku usaha. Sehingga
konsumen tidak mendapatkan perlindungan hukum dari suatu perjanjian. Untuk
itu diperlukan perlindungan dari negara dalam bentuk peraturan yang
melindungi keberadaan konsumen, dalam hal ini UU PK.
Lalu muncul pertanyaan, bagaimana bila saya membeli barang,
kemudian saya menghadiahkannya kepada teman saya. Siapakah yang disebut
konsumen? Menurut saya yang patut untuk disebut sebagai konsumen hanyalah
penerima hadiah. Sedangkan pemberi hadiah bukan konsumen menurut pengertian
Pasal 1 angka 2 UU PK. Pemberi hadiah dapat dikatakan sebagai konsumen
perantara.
Lalu mengapa di ketentuan Pasal 1 angka 2 UU PK disebutkan
“… baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga,, orang lain, maupun makhluk
hidup lain…”? Ketentuan ini dimaksudkan bila Anda menggunakan suatu barang
dan/atau jasa dan bukan hanya Anda yang merasakan manfaatnya, melainkan juga
keluarga Anda, orang lain, dan makhluk hidup lain. Contohnya bila Anda membeli
sebuah AC untuk dipasang di ruang tamu rumah Anda. Tentu bukan hanya Anda yang
merasakan hawa sejuk dari AC tersebut. Istri/suami, anak, tamu dan hewan
peliharaan Anda tentu ikut merasakan kesejukan AC tersebut
Maka
dapat disimpulkan bahwa syarat-syarat konsumen menurut UU PK adalah:
- Pemakai barang dan/atau jasa,
baik memperolehnya melalui pembelian maupun secara cuma-cuma
- Pemakaian barang dan/atau jasa
untuk kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain dan makhluk hidup
lain.
- Tidak untuk diperdagangkan
II.
Azas dan
Tujuan Hukum Perlindungan Konsumen
Sebelumnya telah disebutkan bahwa tujuan dari UU PK adalah
melindungi kepentingan konsumen, dan di satu sisi menjadi pecut bagi pelaku
usaha untuk meningkatkan kualitasnya. Lebih lengkapnya Pasal 3 UU PK
menyebutkan bahwa tujuan perlindungan konsumen adalah:
- Meningkatkan kesadaran,
kemampuan, dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri
- Mengangkat harkat dan martabat
konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang
dan/atau jasa
- Meningkatkan pemberdayaan
konsumen dalam memilih, menentukan, dan menuntut hak-haknya sebagai
konsumen
- Menciptakan sistem perlindungan
konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi
serta akses untuk mendapatkan informasi
- Menumbuhkan kesadaran pelaku
usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang
jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha
- Meningkatkan kualitas barang
dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau
jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen
Sedangkan
asas-asas yang dianut dalam hukum perlindungan konsumen sebagaimana disebutkan
dalam Pasal 2 UU PK adalah:
- Asas
manfaat
Asas
ini mengandung makna bahwa penerapan UU PK harus memberikan manfaat yang
sebesar-besarnya kepada kedua pihak, konsumen dan pelaku usaha. Sehingga tidak
ada satu pihak yang kedudukannya lebih tinggi dibanding pihak lainnya. Kedua
belah pihak harus memperoleh hak-haknya.
- Asas
keadilan
Penerapan
asas ini dapat dilihat di Pasal 4 – 7 UU PK yang mengatur mengenai hak dan
kewajiban konsumen serta pelaku usaha. Diharapkan melalui asas ini konsumen dan
pelaku usaha dapat memperoleh haknya dan menunaikan kewajibannya secara
seimbang.
- Asas
keseimbangan
Melalui
penerapan asas ini, diharapkan kepentingan konsumen, pelaku usaha serta
pemerintah dapat terwujud secara seimbang, tidak ada pihak yang lebih
dilindungi.
- Asas
keamanan dan keselamatan konsumen
Diharapkan
penerapan UU PK akan memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan konsumen
dalam penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang
dikonsumsi atau digunakan.
- Asas
kepastian hokum
Dimaksudkan
agar baik konsumen dan pelaku usaha mentaati hukum dan memperoleh keadilan
dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian
hukum
III.
Hak dan
Kewajiban Pelaku Usaha
Seperti halnya konsumen, pelaku usaha juga memiliki hak dan
kewajiban. Hak pelaku usaha sebagaimana diatur dalam Pasal 6 UUPK adalah:
- hak untuk menerima pembayaran
yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang
dan/atau jasa yang diperdagangkan;
- hak untuk mendapat perlindungan
hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik;
- hak untuk melakukan pembelaan
diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen;
- hak untuk rehabilitasi nama
baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak
diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
- hak-hak yang diatur dalam
ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
Sedangkan
kewajiban pelaku usaha menurut ketentuan Pasal 7 UUPK adalah:
- beritikad baik dalam melakukan
kegiatan usahanya;
- memberikan informasi yang
benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa
serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;
- memperlakukan atau melayani
konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
- menjamin mutu barang dan/atau
jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar
mutu barang dan/atau jasa yang berlaku;
- memberi kesempatan kepada
konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu
serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau
yang diperdagangkan;
- memberi kompensasi, ganti rugi
dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan
barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
- memberi kompensasi, ganti rugi
dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang dterima atau
dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.
Bila diperhatikan dengan seksama, tampak bahwa hak dan kewajiban
pelaku usaha bertimbal balik dengan hak dan kewajiban konsumen.
Ini berarti hak bagi konsumen adalah kewajiban yang harus dipenuhi oleh pelaku
usaha. Demikian pula dengan kewajiban konsumen merupakan hak yang akan diterima
pelaku usaha.
Bila dibandingkan dengan ketentuan umum di Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata, tampak bahwa pengaturan UUPK lebih spesifik.
Karena di UUPK pelaku usaha selain harus melakukan kegiatan usaha dengan itikad
baik, ia juga harus mampu menciptakan iklim usaha yang kondusif, tanpa
persaingan yang curang antar pelaku usaha.
Kewajiban-kewajiban
pelaku usaha juga sangat erat kaitannya dengan larangan dan tanggung jawab
pelaku usaha yang akan kita bahas nanti.
Perbuatan
yang Dilarang Bagi Pelaku Usaha (Ps 14-17)
UU
PERLINDUNGAN KONSUMEN
BAB 4
PERBUATAN YANG DILARANG BAGI PELAKU USAHA
BAB 4
PERBUATAN YANG DILARANG BAGI PELAKU USAHA
Pasal 14
“Pelaku usaha dalam menawarkan
barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dengan memberikan
hadiah melalui cara undian, dilarang untuk”
a. tidak melakukan penarikan hadiah setelah batas
waktu yang dijanjikan
b. mengumumkan hasilnya tidak melalui media masa
c. memberikan hadiah tidak sesuai dengan yang
dijanjikan
d. mengganti hadiah yang tidak setara dengan
nilai hadiah yang dijanjikan.
Pasal 15
“Pelaku usaha dalam menawarkan
barang dan/atau jasa dilarang melakukan dengan cara pemaksaan atau cara lain
yang dapat menimbulkan gangguan baik fisik maupun psikis terhadap konsumen”
Pasal 16
“Pelaku usaha dalam menawarkan
barang dan/atau jasa melalui pesanan dilarang untuk”
a. tidak
menepati pesanan dan/atau kesepakatan waktu penyelesaian sesuai dengan yang
dijanjikan
b. tidak
menepati janji atau suatu pelayanan dan/atau prestasi
Pasal 17
1.
Pelaku usaha periklanan dilarang memproduksi iklan
yang
a. mengelabui
konsumen mengenai kualitas, kuantitas, bahan, kegunaan dan harga barang
dan/atau tarif jasa serta ketepatan waktu penerimaan barang dan/atau jasa
b. mengelabui
jaminan/garansi terhadap barang dan/atau jasa
c. memuat
informasi yang keliru, salah, atau tidak tepat mengenai barang dan/atau jasa
d. tidak
memuat informasi mengenai risiko pemakaian barang dan/ atau jasa
e. mengeksploitasi
kejadian dan/atau seseorang tanpa seizin yang berwenang atau persetujuan yang
bersangkutan
f. melanggar
etika dan/atau ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai periklanan
2.
Pelaku usaha periklanan dilarang melanjutkan
peredaran ikian yang telah melanggar ketentuan pada ayat (1)
Sumber :
IV.
Klausula Baku Dalam Perjanjian
Klausula baku adalah setiap
syarat dan ketentuan yang telah disiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara
sepihak oleh pengusaha yang dituangkan dalam suatu dokumen atau perjanjian yang
mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen.
Memang klausula baku potensial merugikan konsumen
karena tak memiliki pilihan selain menerimanya. Namun di sisi lain, harus
diakui pula klausula baku sangat membantu kelancaran perdagangan. Sulit
membayangkan jika dalam banyak perjanjian atau kontrak sehari-hari kita selalu
harus mernegosiasikan syarat dan ketentuannya.
Di dalam Pasal 18 Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1999, pelaku usaha dalam menawarkan barang dan atau jasa yang ditujukan untuk
diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap
dokumen dan atau perjanjian, antara lain :
1. Menyatakan
pengalihan tanggung jawab pelaku usaha ;
2. Menyatakan
bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli
konsumen ;
3. Menyatakan
bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas
barang dan atau jasa yang dibeli konsumen ;
4. Menyatakan
pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun
tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan
barang yang dibeli konsumen secara angsurang ;
5. Mengatur
perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang
dibeli oleh konsumen ;
6. Memberi
hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta
kekayaan konsumen yang menjadi objek jual beli jasa ;
7. Menyatakan
tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan
dan atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa
konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya ;
8. Menyatakan
bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak
tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh
konsumen secara angsuran.
V.
Tanggung Jawab Pelaku Usaha (Ps 24-28)
UNDANG-UNDANG
PERLINDUNGAN KONSUMEN
BAB VI
TANGGUNG JAWAB PELAKU USAHA
BAB VI
TANGGUNG JAWAB PELAKU USAHA
Pasal 24
1) Pelaku
usaha yang menjual barang dan/atau jasa kepada pelaku usaha lain bertanggung
jawab atas tuntutan ganti rugi dan/atau gugatan konsumen apabila
a.
pelaku usaha lain menjual kepada konsumen tanpa
melakukan perubahan apa pun atas barang dan/atau jasa tersebut
b.
pelaku usaha lain, didalam transaksi jual beli tidak
mengetahui adanya perubahan barang dan/atau jasa yang dilakukan oleh pelaku
usaha atau tidak sesuai dengan contoh, mutu, dan komposisi
2) Pelaku
usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibebaskan dari tanggung jawab atas
tuntutan ganti rugi dan/atau gugatan konsumen apabila pelaku usaha lain yang
membeli barang dan/atau jasa menjual kembali kepada konsumen dengan melakukan
perubahan atas barang dan/atau jasa tersebut
Pasal 25
1) Pelaku
usaha yang memproduksi barang yang pemanfaatannya berkelanjutan dalam batas
waktu sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun wajib menyediakan suku cadang dan/atau
fasilitas purna jual dan wajib memenuhi jaminan atau garansi sesuai dengan yang
diperjanjikan
2) Pelaku
usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertanggung jawab atas tuntutan ganti
rugi dan/atau gugatan konsumen apabila pelaku usaha tersebut
a.
tidak menyediakan atau lalai menyediakan suku cadang
dan/atau fasilitas perbaikan
b.
tidak memenuhi atau gagal memenuhi jaminan atau garansi
yang diperjanjikan.
Pasal 26
“Pelaku usaha yang memperdagangkan
jasa wajib memenuhi jaminan dan/atau garansi yang disepakati dan/atau yang
diperjanjikan.”
Pasal 27
“Pelaku usaha yang memproduksi
barang dibebaskan dan tanggung jawab atas kerugian yang diderita konsumen,
apabila”
a. barang
tersebut terbukti seharusnya tidak diedarkan atau tidak dimaksudkan untuk
diedarkan
b. cacat
barang timbul pada kemudian hari
c. cacat
timbul akibat ditaatinya ketentuan mengenai kualifikasi barang;
d. kelalaian
yang diakibatkan oleh konsumen
e. lewatnya
jangka waktu penuntutan 4 (empat) tahun sejak barang dibeli atau lewat jangka
waktu yang diperjanjikan
Pasal 28
“Pembuktian terhadap ada tidaknya
unsur kesalahan dalam gugatan ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19,
Pasal 22, dan Pasal 23 merupakan beban dan tanggung jawab pelaku usaha.”
VI.
Sanksi Pidana UU Perlindungan Konsumen
Masyarakat boleh merasa lega
dengan lahirnya UU No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, namun bagian
terbesar dari masyarakat kita belum tahu akan hak-haknya yang telah mendapat
perlindungan dalam undang-undang tesebut, bahkan tidak sedikit pula para pelaku
usaha yang tidak mengetahui dan mengindahkan UU Perlindungan Konsumen ini.
Dalam pasal 62 Undang-undang
No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen tersebut telah diatur tentang
pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh Pelaku usaha diantaranya sebagai
berikut : 1) Dihukum dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau
pidana denda paling banyak Rp. 2.000.000.000,- (dan milyard rupiah) terhadap :
pelaku usaha yang memproduksi atau memperdagangkan barang yang tidak sesuai
dengan berat, jumlah, ukuran, takaran, jaminan, keistimewaan, kemanjuran,
komposisi, mutu sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau keterangan tentang
barang tersebut ( pasal 8 ayat 1 ), pelaku usaha yang tidak mencantumkan
tanggal kadaluwarsa ( pasal 8 ayat 1 ), memperdagangkan barang rusak, cacat,
atau tercemar ( pasal 8 ayat 2 ), pelaku usaha yang mencantumkan klausula baku
bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli
konsumen di dalam dokumen dan/atau perjanjian. ( pasal 18 ayat 1 huruf b ) 2)
Dihukum dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda
paling banyak Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah) terhadap : pelaku usaha
yang melakukan penjualan secara obral dengan mengelabuhi / menyesatkan konsumen
dengan menaikkan harga atau tarif barang sebelum melakukan obral, pelaku usaha
yang menawarkan barang melalui pesanan yang tidak menepati pesanan atau waktu
yang telah diperjanjikan, pelaku usaha periklanan yang memproduksi iklan yang
tidak memuat informasi mengenai resiko pemakaian barang/jasa.
Dari ketentuan-ketentuan pidana
yang disebutkan diatas yang sering dilanggar oleh para pelaku usaha masih ada
lagi bentuk pelanggaran lain yang sering dilakukan oleh pelaku usaha, yaitu
pencantuman kalusula baku tentang hak pelaku usaha untuk menolak penyerahan
kembali barang yang dibeli konsumen dalam setiap nota pembelian barang.
Klausula baku tersebut biasanya dalam praktiknya sering ditulis dalam nota
pembelian dengan kalimat “Barang yang sudah dibeli tidak dapat ditukar atau
dikembalikan” dan pencantuman klausula baku tersebut selain bisa dikenai
pidana, selama 5 (lma) tahun penjara, pencantuman klausula tersebut secara
hukum tidak ada gunanya karena di dalam pasal 18 ayat (3) UU no. 8 tahun 1999
dinyatakan bahwa klausula baku yang masuk dalam kualifikasi seperti, “barang
yang sudah dibeli tidak dapat ditukar atau dikembalikan” automatis batal demi
hukum.
Namun dalam praktiknya, masih
banyak para pelaku usaha yang mencantumkan klausula tersebut, di sini peran
polisi ekonomi dituntut agar menertibkannya. Disamping pencantuman klausula
baku tersebut, ketentuan yang sering dilanggar adalah tentang cara penjualan
dengan cara obral supaya barang kelihatan murah, padahal harga barang tersebut
sebelumnya sudah dinaikan terlebih dahulu. Hal tersebut jelas bertentangan
dengan ketentuan pasal 11 huruf f UU No.8 tahun 1999 dimana pelaku usaha ini
dapat diancam pidana paling lama 2 (dua) tahun penjara dan/atau denda paling
banyak Rp.500 juta rupiah.
Dalam kenyataannya aparat
penegak hukum yang berwenang seakan tdak tahu atau pura-pura tidak tahu bahwa
dalam dunia perdagangan atau dunia pasar terlalu banyak sebenarnya para pelaku
usaha yang jelas-jelas telah melanggar UU Perlindungan Konsumen yang merugikan
kepentingan konsumen. Bahwa masalah perlindungan konsumen sebenarnya bukan
hanya menjadi urusan YLKI atau lembaga/instansi sejenis dengan itu, berdasarkan
pasal 45 ayat (3) Jo. pasal 59 ayat (1) UU Perlindungan Konsumen tanggung jawab
pidana bagi pelanggarnya tetap dapat dijalankan atau diproses oleh pihak
Kepolisian. ( Oktober 2004 )
0 comments:
Post a Comment